Selasa, 08 Januari 2013

Hubungan Komunikasi dan Kepemimpinan dalam Organisasi


KOMUNIKASI

Komunikasi berasal dari kata Latin Communicare yang berarti sama atau menjadikan milik bersama. Kalau kita berbicara atau berkomunikasi dengan orang lain, berarti kita berusaha agar apa yang disampaikan kepada orang lain tersebut menjadi miliknya. Secara lebih spesifik, Pengertian atau definisi komunikasi dapat disimpulkan dari berbagai istilah komunikasi berdasarkan pencetusnya.

Onong Cahyana Effendi
Komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu, mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik secara lisan (langsung) ataupun tidak langsung (melalui media).


KEPEMIMPINAN

Dalam bahasa Indonesia "pemimpin" sering disebut penghulu, pemuka, pelopor, pembina, panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja, tua-tua, dan sebagainya. Sedangkan istilah Memimpin digunakan dalam konteks hasil penggunaan peran seseorang berkaitan dengan kemampuannya mempengaruhi orang lain dengan berbagai cara.

Istilah pemimpin, kemimpinan, dan memimpin pada mulanya berasal dari kata dasar yang sama "pimpin". Namun demikian ketiganya digunakan dalam konteks yang berbeda.

Pemimpin adalah suatu lakon/peran dalam sistem tertentu; karenanya seseorang dalam peran formal belum tentu memiliki ketrampilan kepemimpinan dan belum tentu mampu memimpin. Istilah Kepemimpinan pada dasarnya berhubungan dengan ketrampilan, kecakapan, dan tingkat pengaruh yang dimiliki seseorang; oleh sebab itu kepemimpinan bisa dimiliki oleh orang yang bukan "pemimpin".
Pemimpin jika dialihbahasakan ke bahasa Inggris menjadi "LEADER".



KESIMPULAN

Jadi, pentingnya hubungan komunikasi dan kepemimpinan dalam organisasi adalah untuk memperbaiki organisasi itu sediri. Serta kemajuan organisasi, dimana suatu organisasi biasa sikatakan sukses apabila hubungan komunikasi antar anggota berjalan harmonis. Begitu pula kepemimpinan sangat diperlukan bila organisasi ingin sukses. Karena kepemimpinan mempengaruhi aktifitas-aktifitas sebuah kelompok kearah pencapaian tujuan bersama.


Sumber :
http://deviyuliaekaputri.blogspot.com/2011/10/pengertian-motivasi-komunikasi-dan.html

Rabu, 02 Januari 2013

Jelaskan proses pengambilan keputusan


  proses pengambilan keputusan

Di dalam sebuah organisasi banyak terdapat proses-proses pelaksanaan agar supaya organisasi tersebut dapat berjalan. Diantaranya adalah Proses yang mempengaruhi pengambilan keputusan. dimana dalam proses ini manajer atau pimpinan berperan sebagai orang yang mempengaruhi bawahannya agar dapat mengikuti apa yang telah dirancang dan dipikirkan oleh manajer.



Dalam proses mempengaruhi terdapat beberapa metode-metode. Diantaranya yang dijelaskan oleh kelompok 3 adalah :



Ø  Kekuatan fisik, metode ini dilakukan menggunakan fisik, seperti menggunakan tangan dalam mempengaruhi individu maupun kelompok (berhubungan dengan kekerasan).

Ø  Penggunaan sanksi, metode ini dilakukan dengan memberikan sanksi kepada individu maupun kelompok, sanksi yang diberikan berupa sanksi positif maupun negatif.

Ø  Keahlian, metode ini dilakukan dengan keahlian, seseorang yang mempengaruhi mempunyai keahlian dalam mempengaruhi individu maupun kelompok.

Ø  Kharisma (daya tarik), pada metode ini seseorang yang dipengaruhi akan tertarik kepada orang yang mempengaruhi, karena orang tersebut memiliki kharisma tanpa harus menggunakan kekuatan fisik, sanksi maupun keahlian.



Selain metode-metode terdapat cakupan atau kepada siapa pengaruh itu ditujukan. Diantaranya pengaruh dapat ditujukan kepada antar individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan individu.



Kemudian ada Proses Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan secara universal didefinisikan sebagai pemilihan diantara berbagai alternative. Pengertian ini mencakup baik pembuatan pilihan maupun pemecahan masalah.

Sebutkan contoh konflik yang terjadi dalam organisasi



KONFLIK DALAM ORGANISASI

Didalam Organisasi tidak dapat di pungkiri pasti terdapat suatu konflik, konflik ini terjadi karena setiap orang-orang yang terlibat organisasi pasti mempunyai visi, misi , dan karakter yang berbeda, akan tetapi tidak semua konflik merugikan, asalkan konflik tersebut ditata dengan baik maka dapat menguntungkan organisasi.

Pengertian Konflik


Konflik dapat diartikan sebagai Perbedaan pendapat antara dua atau lebih anggota organisasi atau kelompok-kelompok dalam organisasi yang timbul karena mereka harus menggunakan sumber daya yang langka secara bersama-sama atau menjalankan kegiatan bersama-sama dan atau karena mereka mempunyai status, tujuan, nilai-nilai dan persepsi yang berbeda. Anggota-anggota organisasi yang mengalami ketidaksepakatan tersebut biasanya mencoba menjelaskan duduk persoalannya dari pandangan mereka.

Konflik Dalam Organisasi di Indonesia 

Konflik adalah suatu permasalahan tak terduga, yang harus diselesaikan secara adil. Konflik berbagai jenis, muncul dengan sendirinya. Penyebab konflik terjadi jika ada seorang anggota yang melakukan kesalahan. Konflik juga sangat penting, jika tak ada konflik maka tak ada perubahan yang terjadi. 


Sebutkan sebab-sebab timbulnya konflik


Timbulnya Konflik.
  Salah satu masalah yang paling mendesak dalam bidang hubungan internasional adalah masalah sebab-sebab terjadinya perang. Mengapa suatu perang / konflik sangat sering terjadi dalam dunia internasional? Apakah perang merupakan suatu penyakit dalam sistem sosial manusia, suatu kegilaan kolektif, atau sekedar kecelakaan seperti halnya seseorang jatuh dari tangga?


 Perang merupakan salah satu kegiatan manusia yang dipelajari secara hati-hati. Puluhan ribu buku mengenai perang telah banyak ditulis. Ada pula beberapa jurnal yang khusus dibuat dengan fokus analisis mengenai perang, seperti Journal of Conflict Resolution di Amerika Serikat, Journal of Peace Research di Norwegia, dan Peace Research Reviews di Kanada. Penelitian tentang perdamaian banyak melahirkan temuan ilmiah dan menumbuhkan beberapa aliran pemikiran yang berbeda. Teori-teori mengenai sebab-sebab perang dan konflik akan dicoba dikupas dalam makalah ini dan sebagian usul dan temuan yang paling penting dari para penstudi konflik.

  • Keraguan dan kecurigaan mulai mengemuka, dan iklim di antara kelompok-kelompok merosot. 
  • Persepsi atas kelompok luar menjadi terdistorsi atau terstereotipkan dan terpolarisasikan, dengan komentar komentar verbal yang memisahkan kelompok-kelpmpok yang “baik” dari kelompok-kelompok yang “buruk” .
  • Kepatuhan dan perasaan perasaan yang berkaitan seperti keramahan, kertetrarikan , keakraban dan kepentingan.
  • Kepatuhan kepada norma kelompok dan konformitas juga meningkat daklam setiap kelompok 
  • Kelompok-kelompok mempersiapkan diri merka sendiri bagi kepemimpinan dan pengarahan yang lebih otoritarian. 
  • Prilaku memusuhi, hubungan komunikative yang berkurang dan tanda2 lain hubungan antar kelompok menjadi tampak. Pemisahan komplet sama-sama diharapkan dan setiap bentuk usaha yang positif terhenti. 


Teori-teori sebab dari munculnya sebuah perang dan konflik.
Penelitian ilmiah mengenai perang didasarkan pada sebuah asumsi pokok, yakni bahwa pola baku dan keteraturan dalam tingkah laku konflik dapat diidentifikasi secara sistematis. Bila asumsi ini salah / tidak benar dalam artian tingkah laku perang ternyata brsifat acak, luar biasa, atau unik, maka penelitian seperti ini tidak akan produktif. Namun para peneliti konflik beserta sejarawan dan para diplomat telah sepakat bahwa memang ada prinsip-prinsip baku yang mendasari berbagai macam tingkah laku konflik. Dalam mengungkap 15 belas penyebab terjadinya perang, sebelumnya kita dapat mengasumsikan bahwa perang atau konflik merupakan suatu pelaksanaan terorganisir atas perselisihan bersenjata antar kelompok sosial dan antar negara. Definisi ini juga bisa diterapkan dalam suatu fenomena konflik internasional.[1]

No. Teori Penyebab Perang dan Konflik
1 Ketimpangan Kekuasaan
2 Transisi Kekuasaan
3 Nasionalisme, Separatisme, dan Iredentisme*
4 Darwinisme Sosial Internasional
5 Kegagalan komunikasi akibat kekeliruan persepsi dan dilema keamanan
6 Kegagalan komunikasi akibat ironi atau kesalahan teknis
7 Perlombaan senjata
8 Kekompakan internal melalui konflik eksternal
9 Konflik internasional akibat perselisihan internal
10 Kerugian relatif
11 Naluri agresi
12 Rangsangan ekonomis dan ilmiah
13 Kompleks industri militer
14 Pembatasan penduduk
15 Penyelesaian konflik melalui kekerasan
*Iredentisme : motif untuk menguasai suatu wilayah secara sepihak.

1. Ketimpangan Kekuasaan.
Merupakan kondisi yang paling ditakuti oleh banyak pemerintahan. Yakni suatu kondisi yang tidak disukai berupa distribusi kekuasaan yang tidak merata. Secara umum diyakini bahwa apapun pangkal tolaknya, perang cenderung bisa dicegah bila kekuasaan antara kedua belah pihak yang saling berhadapan cukup seimbang. Sebaliknya, bila terjadi ketidakseimbangan, maka akan cenderung terjadi agresi. Pemeliharaan perdamaian internasional mengharuskan kemajuan teknologis dan kemajuan lainnya dari kedua belah pihak tetap sepadan dan merata. Para penganut Real Politics yakin bahwa peristiwa dan masalah yang mengarah ke arah konflik selalu ada dan bahwa penyebab langsung pecahnya perang biasanya karena gagalnya penyeimbangan kekuasaan secara simetris. Prinsip dasar doktrin ini adalah : Bila anda ingin damai, bersiaplah untuk berperang.
Namun dalam konflik antara pihak yang berusaha menciptakan redidtribusi nilai-nilai utama dan pihak yang ingin mempertahankan status qou, ketimpangan kekuasaan justru dapat melindungi perdamaian (antara yang ofensif dan defensif dapat dibedakan secara jelas). Bila pihak defensif lebih unggul, maka agresi akan teredam dan kerusakan keseimbangan akan tercegah. Namun bila pihak yang ofensif yang lebih unggul, maka akan lebih besar kemungkinan pecahnya suatu perang.
Jadi pada intinya, jika pihak ofensif dan defensif terlihat jelas, perdamaian akan lebih terjamin bila yang nonrevolusioner lebih unggul.[2]

2. Transisi Kekuasaan.
Salah satu adaptasi istimewa dari teori ketimpangan kekuasaan sebagai penyebab konflik internasional adalah teori transisi kekuasaan. Unsur unik teori ini terletak pada fokusnya. Teori ini tidak memusatkan perhatiannya atas ketimpangan yang ada, melainkan pada perkembangan ketimpangan itu dalam menggoyahkan perimbangan internasional. Proses penggoyahan itu bertumpu pada pertumbuhan kilat kekuatan negara-negara yang ingin merombak status-quo internasional yang diciptakan dan dilindungi oleh negara dominan. Teori ini berpendapat bahwa negara-negara dibedakan oleh kapabilitas kekuasaan relatif dan kepuasan atau ketidakpuasan mereka terhadap sistem internasional yang berlaku. Transisi kekuasaan ditandai dengan tantangan mendadak dan kuat terhadap status-quo yang bersumber dari kemajuan internal yang cepat dalam kapabilitas kekuasaan. Jika hal ini terjadi di negara yang puas akan sistem internasional yang ada, maka kemungkinan terjadi suatu transisi akan kecil, lain halnya dengan jika situasi ketidakpuasan terjadi pada negara yang tidak diikutsertakan dalam proses pembuatan norma yang kini berlaku dalam sistem internasional, maka hal itu akan menjadikan negara yang bersangkutan akan dipandang sebagai tantangan oleh negara-negara dominan.[3]
Kerawanan akan mereda jika negara yang bersangkutan tidak merasakan adanya perubahan.[4]

3. Nasionalisme, Separatisme dan Iredentisme.
Nasionalisme merupakan suatu identitas  kelompok kolektif secara emosional mengikat banyak orang menjadi satu bangsa. Bangsa menjadi sumber rujukan dan ketaatan tertinggi bagi setiap individu, sekaligus identitas nasional. Identitas kelompok yang aneh dan bersifat memaksa ini cenderung menghasilkan konflik satu sama lain. Nasionalisme merupakan faktor penyebab utama dalam terjadinya sebuah perang dan paling banyak menimbulkan pertempuran berdarah.[5]
Dewasa ini, mata rantai utama antara nasionalisme dan perang adalah bangkitnya identitas berbagai penduduk yang pembagian geografisnya menyimpang dari garis batas internasional. Mereka yang merasa tidak menjadi bagian dari suatu negara cenderung merasa sistem negara-bangsa menindas hak asasinya.
Dua bentuk kunci militansi nasionalis merupakan wujud utama perang modern. Yakni bentuk separatis dimana satu kelompok nasionalis berusaha mencoba melepaskan diri dari suatu negara untuk membentuk suatu negara baru. Adapun bentuk iredentis, yaitu suatu negara menuntut diserahkannya suatu wilayah beserta penduduknya yang masih dijadikan bagian dari negara lain.

4. Darwinisme Sosial Internasional.
Darwinisme sosial internasional adalah keyakinan bahwa masyarakat seperti halnya spesies biologi yang berkembang dan maju melalui suatu tahap persaingan. Yang kuat yang akan bertahan, sedangkan yang lemah akan disingkirkan. Para Darwinis memandang sebuah perang sebagai sebuah keharusan yang keji demi kemajuan peradaban. Hubungan internasional dalam hal ini dijadikan sebagai arena perjuangan segala bangsa untuk menentukan nasib global umat manusia. Peranan perang adalah melepaskan kendali keuasaan dari pihak yang lemah dan sekarat ke pihak yang kuat dan dinamis. Dewasa ini, filosofi tersebut sering dikaitkan dengan fasisme. Dalam menonjolkan perang sebagai aspek positif dari fasisme, Benito Mussolini menyatakan : “Fasisme bertolak dari semangat imperialis – yakni kecenderungan berekspansi – yang merupakan wujud vitalitasnya. Adapun kecenderungan sebaliknya, yang akan menjadikannya sebagai negara jinak, fasisme memandangnya sebagai gejala kemerosotan.”[6]

5. Kegagalan Komunikasi Akibat Kekeliruan Persepsi.
Seperti yang telah kita ketahui, para pemimpin nasional dan setiap bangsa melihat satu sama lain melalui kacamata ideologi, dan disertai gambaran-gambaran stereotipe, sehingga mengaburkan komunikasi di antara mereka, baik formal maupun informal.[7] Kekeliruan perseptual dari gejala ini mengacaukan penerimaan pesan dan tanda sehingga mengakibatkan kesalahan persepsi dari kedua belah pihak.[8]
Pihak pemerintah segera kehilangan peluang berkomunikasi secara efektif dengan pihak lawan, kecuali ia bersedia memberi kepercayaan strategis terhadap pesan-pesan dari lawannya tersebut[9].

6. Perlombaan Senjata Dan Dilema Keamanan.
Teori ini berpendapat bahwa pecahnya sebuah perang diakibatkan oleh perlombaan senjata yang secara strategis tidak stabil dan secara politis tidak terkendali. Di sini, negara-negara yang bermusuhan terkunci dalam sebuah siklus ketakutan bersama (suatu proses yang disebut pembentukan reaksi permusuhan). Dalam proses ini, setiap pihak sama-sama merasa terancam. Kesiagaan defensif salah satu pihak dianggap bukti motif ofensif oleh pihak lain, yang selanjutnya mempersenjatai diri sebagai tanggapannya. Semua pihak berusaha saling mengungguli sehingga menumbuhkan perlombaan senjata dan pasukan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Perlombaan ini menyebabkan timbulnya dilema keamanan. Namun ada versi lain mengenai persaingan persenjataan, yaitu bahwa persaingan persenjataan sampai batas tertentu sebenarnya menunjang stabilitas. Kedua versi konsep dasar dilema keamanan ini melahirkan beberapa pendekatan matematis baru bagi studi mengenai kekuatan militer dan perang yang akhirnya sampai mengenai pada kesimpulan bahwa persenjataan benar-benar dapat menimbulkan ketidakamanan.[10]

7. Kekompakan Internal Melalui Konflik Eksternal.
Teori ini memandang bahwa perang sebagai produk kebijakan yang dirancang untuk memantapkan kekompakan kelompok internal dengan mengarahkan semua perhatian mereka ke konflik luar. Ini merupakan proses pemupukan kebersamaan untuk menghadapi musuh bersama. Penerapan teori ini dalam hubungan internasional berarti bahwa perang internasional sebagai cara untuk membangun integrasi lokal dan mengatasi pertikaian internal.[11]

8. Konflik Internasional Akibat Perselisihan Internal.
Berlawanan dengan teori penyebab perang sebelumnya, teori ini menyatakan bahwa di abad ke-20 banyak pertempuran militer internasional yang disebabkan oleh perselisihan domestik. Secara umum, sebenarnya perbedaan antara perang saudara dan perang internasional  semakin kabur, terutama dengan seringnya terjadi intervensi eksternal. Meskipun negara-negara adidaya berusaha mempertahankan perlombaan senjatanya yang simetris untuk menghindari konflik militer langsung, perang-perang saudara di seluruh penjuru dunia dapat merembet menjadi konflik internasional.

9. Kerugian Relatif.
Konsep ini sangat bermanfaat untuk menjelaskan sebab-sebab perang domestik. Konsep ini menegaskan bahwa  pemberontakan politik dan pembangkangan lainnya terjadi bila rakyat merasa apa yang mereka terima kurang dari semestinya. Untuk mencapai perolehan yang lebih besar dalam upaya menebus kekecewaannya, kelompok yang bersangkutan mengambil jalan agresi dan kekerasan politik.[12]

10. Naluri Agresi.
Salah satu teori penyebab perang yang paling populer di kalangan awam adalah gagasan mengenai adanya naluri agresi – sifat haus darah seperti dilukiskan di berbagai film seram. Menurut teori ini, akar peperangan terletak pada naluri berperang atau sifat haus perang yang bersumber dari sifat kebinatangan manusia. Banyak pengamat menyimpulkan, manusia memang gemar berkelahi dan konflik internasional bersumber pada adu kejantanan yang menjurus ke arah sadisme. Penyebab pecahnya perang dapat dilacak dari kecenderungan biologis serta psikopatologis individual dan kolektif.[13]

11. Rangsangan Ekonomi dan Rangsangan Ilmiah.
Teori tentang perang ini memusatkan perhatiannya pada fungsi-fungsi ekonomi. Baik perang maupun ancaman perang merangsangan peningkatan kegiatan ilmiah, inovasi teknik, dan kemajuan industri. Dapat dikatakan bahwa aspek ekonomi eksternal utama dari peperangan adalah lonjakan industri tersebut. Perekonomian yang lamban dapat dirangsang melalui penciptaan tuntutan artifisial. Dapat dikatakan pula bahwa perang atau ancaman militer merangsang orang-orang untuk bekerja dan mengupayakan kebangkitan ekonomi. Sekarang, karena pengelolaan ekonomi lebih banyak dilakukan pihak pemerintah, maka pengeluaran militer menjadi faktor paling penting di sebagian besar negara industri.[14]

12. Kompleks Industri Militer.
Menurut teori ini, di negara-negara besar, berbagai kelompok domestik yang berpengaruh dan berkepentingan atas pengeluaran militer serta ketegangan internasional, menggunakan pengaruhnya untuk menciptakan pertentangan antar negara. Mereka adalah kompleks insutri militer yang terdiri dari :
-          Tentara-tentara profesional.
-          Manajer, dan di negara-negara kapitalis, para pemilik industri pemasok perlengkapan militer.
-          Pejabat-pejabat tinggi pemerintah yang karir dan kepentingannya terikat pada pembelanjaan militer, dan
-          Para anggota parlemen yang daerah asalnya diuntungkan oleh proyek pertahanan.
Kompleks ini membenarkan tingginya pengeluaran militer dengan suatu ideologi konflik.

13. Pembatasan Penduduk.
Salah satu rujukan teori Lebensraum Hitler adalah teori mengenai hubungan antara teori mengenai pertambahan penduduk dengan perang yang dirumuskan oleh Sir Thomas Malthus. Dalam buku Essay on The Principle of Population (1798), Malthus menyatakan bahwa penduduk terus bertambah secara geometris, sedangkan sumber-sumber makanan hanya bertambah secara aritmatis. Jadi, “Kekuatan Penduduk Mutlak lebih besar daripada kekuatan bumi menghasilkan makanannya.” Karena penduduk harus sesuai dengan persediaan makanan, maka harus ada kendali pertambahan penduduk. Salah satunya adalah perang.

14. Penyelesaian Konflik Melalui Kekerasan.
Kita sampai pada teori terakhir yang paling umum dan komprehensif. Yakni teori yang menyatakan perang sebagai alat untuk menyelesaikan konflik. Menurut teori pada umumnya, konflik muncul ketika 2 atau lebih kelompok sama-sama menyatakan kepemilikannya atas suatu sumber daya atau posisi yang sama.
Perang adalah sarana untuk membagikan nilai-nilai yang langka itu demi terselesaikannya konflik. Dalam pandangan ini, perang adalah sebuah keputusan yang rasional, dan kebijakan perang ditentukan melalui perhitungan biaya dan keuntungan yang logis.
Kepentingan sekunder memang bisa dikompromikan dengan pihak lawan, namun pimpinan wajib mempertahankan nilai-nilai utama dengan segala cara, bila perlu dengan kekerasan. Perang adalah ultima ratio – pilihan terakhir. Dalam kalimat Walter Lippmann, perang adalah cara dimana keputusan-keputusan besar manusia dibuat.[15]

Kesimpulan.
Banyak teori yang telah dibahas menyatakan bahwa penyebab perang dapat ditemukan dalam persekongkolan, irasionalitas, maksud-maksud tersembunyi, dan pengaruh dari elite tertentu. Kita tertarik pada kesimpulan bahwa orang-orang yang tenang dan jernih pikirannya, yang tidak terlibat dalam industri mesiu atau komando tinggi militer, tidak agresif, serakah atau bengis, yang tidak membenci musuh tanpa alasan atau secara sengaja tidak mau memahaminya, serta yang menganggap gagasan perang sebagai penyia-nyiaan hidup dan harta benda, tidak akan mengorbankan perang melainkan terseret atau tertipu untuk terlibat di dalamnya.
Tetapi kebanyakan perang melibatkan berbagai pertentangan yang sangat nyata antara tujuan-tujuan moral dasar kedua belah pihak. Adalah fakta sejarah, bahwasanya penduduk kedua belah pihak secara sukarela dan tanpa suatu unsur irasionalitas, mendukung kebijakan pimpinan yang dirumuskan secara hati-hati. Dalam upaya menghapuskan perang, para ilmuwan politik tidak boleh mengabaikan proses-proses non-persekongkolan dan sangat rasional dalam kehidupan sosial yang mengubah para pecinta damai menjadi prajurit. Perilaku seperti inilah yang mendasari teori yang menyatakan perang sebagai salah satu instrumen penyelesaian konflik yang rasional.




[1] Teori-teori kunci dalam buku Kenneth Waltz, Man, the State, and War (New York: Columbia University Press, 1965); Quincy Wright, The Study of War, edisi kedua (Chicago: University of Chicago Press, 1965); Karl von Clausewitz, On War (Washington, DC: Infantry Journal Press, 1950), cetak ulang.


[2] Walter S.Jones, Logika Hubungan Internasional (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993) hlm.178-180


[3] A.F.K Organski, World Politics 2nd Edition (New York: Knopf, 1968) Bab 7 dan 8.


[4] Charles F. Douran, War and Power Dynamics, International Studies Quarterly, Desember 1983, hlm.419.


[5] Steven Rosen, A Survey of World Conflict (Pittsburgh: University of Pittsburgh Center of International Studies Preliminary Paper, Maret 1969).


[6] S.William Halperin, Mussolini and Italian Fascism (Princeton, N.J: Van Nostrand, 1964) hlm.152.


[7] H.C.J. Duijker dan N.H.Frijda, National Character and National Stereotypes (Amsterdam: North Holland, 1960) dan O.Klineberg, Tension Affecting International Understanding (New York: Social Science Research Council, 1950), Bulletin 62.


[8] Jack S.Levy, Misperception and The Cause of War, World Politics, Oktober 1983, hlm.76.


[9] Untuk telaah umum mengenai eskalasi dan peranannya dalam komunikasi politik, lihat Herman Kahn, On Escalation (New York: Praeger, 1965).


[10] Stephen J.Majeski, Expectation and Arms Races, American Journal of Political Science, Mei 1985, hlm.217.


[11] Anthony de Reuck dan Julie Knight, Conflict in Society (Boston: Little, Brown, 1966), hlm.32.


[12] Ted Gurr, Why Men Rebel (Princeton, N.J.: Princeton University Press, 1970) dan Journal of Conflict Resolutions, Vol.10, no.3, September 1966, hlm.249.


[13] William McDougall, The Instict of Pugnacity, dalam Leon Bramson dan George Goethals, eds., War: Studies from Psychology, Sociology, and Anthropology (New York: Basic Books, 1964) hlm.33-34.


[14] Op.cit, Walter S. Jones, hlm. 211.


[15] Walter Lippman, The Political Equivalent of War, Atlantic Monthly, Agustus 1928, hlm.181.

Sebutkan dan jelaskan jenis-jenis konflik


Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.


 Konflik Arab-Israel (bahasa Arab: الصراع العربي الإسرائيلي Aṣ-Ṣirāʿ al-ʿArabī al-'Isrā'īlī, bahasa Ibrani: הסכסוך הישראלי ערבי), secara kasar terjadi selama satu abad, adalah konflik politik dan peperangan terbuka. Konflik ini terjadi karena didirikannya gerakan Zionis yang bertujuan untuk mendirikan negara Israel. Konflik antara negara-negara Arab dan Israel masih berlangsung sampai sekarang.



Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.



Jenis konflik yang paling umum berhubungan dengan isu-isu pribadi (konflik kepribadian; pergumulan kekuasaan; rasa tidak aman, kurangnya pengakuan); isu-isu yang bersifat material (perselisihan atas kepemilikan harta benda); perbedaan-perbedaan ideologi dan teologi (perbedaan kepercayaan). Konflik pribadi sering merupakan peperangan emosional; konflik ideologi secara tipikal merupakan konflik intelektual dalam permulaannya (sekalipun sering berkembang menjadi pergumulan emosional). Apa pun konteks jenis kepemimpinan yang Anda layani, kemungkinan besar akan menghadapi setiap variasi konflik.

Untuk memelihara keseimbangan dan momentum, seorang pemimpin harus menyadari kapan konflik biasanya timbul dan mengambil langkah untuk mengatasinya. Resolusi sering muncul melalui teknik seperti negosiasi, dialog, dan pemberdayaan. Ketidakberhasilan untuk mengatasi konflik dengan tepat dapat melumpuhkan atau menimbulkan kerusakan serius pada kesehatan, kemajuan, dan potensi organisasi.

Terlepas dari kendala-kendala yang biasanya terjadi sebagai akibat konflik, pengenalan pada konflik yang terkendali dan terencana oleh pemimpin, dapat menjadi dorongan yang berharga bagi gerakan yang positif dan tentulah sebuah alat kepemimpinan yang kurang dimanfaatkan secara maksimal.

Konflik yang disebabkan secara sengaja oleh pemimpin, baik dengan mempromosikan visi yang menantang atau dengan melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan visi yang dirancang secara khusus, untuk menghasilkan konfrontasi yang produktif. Untuk membedakannya dari tekanan dan gejolak yang terjadi di dalam alur kehidupan organisasi yang normal, marilah kita menyebutkan konflik yang dibuat oleh pemimpin sebagai konflik strategis.


Memulai Konflik Strategis

Meskipun biasanya kita menganggap konflik sebagai istilah yang negatif -- sebagai kendala atau hambatan -- sebenarnya konflik, terutama konflik strategis, menggambarkan suatu kesempatan. Ternyata, para pemimpin menggunakan konflik untuk menolong orang-orang bertumbuh. Konflik adalah salah satu alat yang dimiliki para pemimpin untuk membuat hal-hal baik terjadi. Bila konflik digagas, dimulai, dan dikelola dengan tepat, maka konflik akan menjadi komponen yang dapat digunakan untuk melakukan pendekatan dalam mengatasi masalah.

Setiap organisasi yang sehat memunyai seorang pemimpin kunci yang mengerti nilai dan perlunya konflik, dan menggunakannya sebagai alat untuk memajukan organisasi. Jangan berasumsi bahwa mereka adalah orang-orang yang menjengkelkan dan pembuat keonaran; sering kali, para pemimpin itu adalah orang-orang yang pintar bergaul, yang hanya sekadar menyadari bahwa konflik adalah pilihan yang terbaik untuk memungkinkan segala sesuatu maju.


Memberi Respons dengan Kecakapan

Namun demikian, tampaknya kesediaan Anda untuk mengintegrasikan konflik tergantung pada beberapa faktor, seperti: kepribadian, kestabilan emosi, kedewasaan rohani, dan kecakapan untuk memimpin.

Kecakapan Anda untuk memimpin merupakan gambaran yang cukup tepat mengenai bagaimana Anda akan menghadapi konflik. Untuk mengoptimalkan konflik sebagai alat, kenalilah kecenderungan Anda dan masukkan kecenderungan tersebut ke dalam rencana Anda. Ada empat kecakapan memimpin: pemimpin pengarah, pemimpin strategis, pemimpin pembangun tim, dan pemimpin operasional. Marilah kita pelajari, bagaimana setiap jenis kepemimpinan itu menangani konflik, sebagai alat pertumbuhan, secara normal.


Pemimpin Pengarah

Dari empat jenis, pemimpin pengarah adalah yang paling cenderung menciptakan tekanan-tekanan dengan tujuan mendorong kelompok untuk maju. Sebagai pemenang visi yang dominan dalam tim kepemimpinan, pemimpin pengarah memiliki peluang-peluang yang paling banyak untuk memancing konflik.

Sebagai tambahan, jenis kepribadian dari kebanyakan pemimpin pengarah memberi kemungkinan untuk perilaku yang mengandung risiko besar -- seperti mendorong orang-orang yang dipimpinnya dengan sengaja untuk melewati batas-batas mereka. Walaupun pemimpin yang baik tidak akan menyalahgunakan taktik ini; pemimpin pengarah cenderung menikmati tenaga, intensitas emosi, dan perubahan langkah yang dapat dinaikkan oleh tekanan ini. Waspadalah: Setelah para pemimpin memulai suatu konflik dan menikmati keuntungan utama dari konflik itu, mereka sering mendelegasikan proses resolusinya kepada orang lain.


Pemimpin Strategis

Kebanyakan pemimpin strategis merasakan pengembangan konflik sebagai suatu taktik yang membangkitkan minat dan yang membuahkan hasil-hasil yang menyenangkan untuk dipelajari. Para pemimpin strategis yang hebat terbuka terhadap alat apa pun, untuk memelihara integrasi organisasi dan memacu kemajuan untuk mencapai visi. Namun demikian, memperkenalkan konflik eksternal di dalam kelompok akan menimbulkan konflik internal bagi pemimpin strategis. Pada umumnya, mereka merasa kurang senang dengan spekulasi yang berisiko tinggi, dan mereka menyadari konflik yang terkendali pun tidak dapat diperhitungkan sepenuhnya.

Mereka mungkin mengalami jenis kontradiksi internal lainnya juga. Sebagai orang-orang yang tidak emosional, mereka tidak terlalu memerhatikan penderitaan orang sebagai akibat konflik. Namun demikian, mereka memunyai pengertian secara intelektual adanya harga yang mungkin dibutuhkan taktik seperti ini dari orang-orang yang dipimpin. Akhirnya, hal paling menarik bagi mereka adalah menguji berbagai macam kemungkinan, mengamati hasilnya, dan menarik kesimpulan yang mungkin menolong organisasinya untuk mencapai visinya pada situasi saat ini atau di kemudian hari. Mereka jarang campur tangan di dalam proses yang sedang berkembang; mereka cukup hanya mengumpulkan data yang berkaitan dan menginterpretasikan maksud data tersebut.


Pemimpin Pembangun Tim

Sekalipun di bawah kondisi yang terbaik, para pemimpin pembangun tim merasakan penderitaan orang-orang yang dipimpinnya. Karena terdorong oleh perasaannya, maka para pemimpin ini sukar menerima perlunya konflik, dan karena mereka mengerti emosi orang-orang tersebut, mereka mengerti manfaat konflik.

Para pemimpin pembangun tim, biasanya menghasilkan konflik yang sama sekali berbeda dari konflik yang dibuat oleh pemimpin pengarah: Mereka sering mengecap pilihan-pilihan orang-orang yang mereka pimpin itu, sebagai perusak tujuan yang disepakati atau memperlemah kemampuan orang lain untuk mencapai sasaran mereka. Mereka mungkin mendorong orang-orang yang menyakiti hati sesamanya untuk mematuhi prinsip Matius 18:15, menjumpai orang yang mereka sakiti dan meminta maaf. Bila perasaan sakit hati menghalangi kemajuan terhadap visi mereka, maka interaksi yang diakibatkannya tidak biasa, namun biasanya produktif.


Pemimpin Operasional

Para pemimpin operasional tidak menyukai konflik karena dua hal. Pertama, mereka sering diminta oleh pemimpin pengarah untuk menyelesaikan isu-isu konflik. Kedua, karena mereka sangat tertarik untuk mempertahankan momentum, maka konflik dipandang seolah-olah memperlambat gerakan untuk maju, tanpa jaminan bahwa mereka akan dapat menguasai kembali letupan konflik itu. Konsekuensinya, pemimpin operasional biasanya menginginkan konflik secepatnya berakhir sebersih mungkin dari perjalanan mereka. Pada kesempatan tertentu, mereka mungkin memperkenalkan konflik yang merupakan kemauan mereka sendiri, tetapi itu bukan taktik dagang yang biasa mereka kerahkan.

Sering kali, mereka tidak sampai pada akar masalah; mereka mengumpulkan pihak-pihak yang terlibat, membuat suatu tinjauan persoalan yang sangat bersifat bisnis, dan mengeluarkan resolusi yang direkomendasikan. Begitu orang-orang yang terlihat menerima rekomendasi tersebut, para ahli operasional ini memusatkan kembali perhatian mereka pada tugas-tugas yang sudah menunggu.


Konflik pada Tim

Salah satu ironi yang lebih menarik adalah bahwa tim-tim kepemimpinan sering memunyai konflik yang terpendam di dalam tim mereka masing-masing, yang timbul hanya karena perbedaan-perbedaan emosional dan intelektual yang dibawa oleh pemimpinnya masing-masing ke meja kerja. Cara mereka yang berbeda untuk mengumpulkan dan menganalisis informasi, menilai dan berinteraksi dengan orang-orang, menggambarkan dan menerapkan kesimpulan, dan berkomunikasi dengan orang-orang biasanya meningkatkan tekanan. Unsur-unsur yang menolong tim untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaannya adalah kesepakatan bersama untuk menerima visi sebagai pusat perhatian mereka dan pencapaiannya secara efisien sebagai sasaran mereka.

1.       Jenis- jenis konflik
Menurut James A.F. Stoner dan Charles Wankel dikenal ada lima jenis konflik yaitu konflik intrapersonal, konflik interpersonal, konflik antar individu dan kelompok, konflik antar kelompok dan konflik antar organisasi, antara lain :



1)      Konflik Intrapersonal

Konflik intrapersonal adalah konflik seseorang dengan dirinya sendiri. Konflik terjadi bila pada waktu yang sama seseorang memiliki dua keinginan yang tidak mungkin dipenuhi sekaligus. Sebagaimana diketahui bahwa dalam diri seseorang itu biasanya terdapat hal-hal sebagai berikut:

-          Sejumlah kebutuhan-kebutuhan dan peranan-peranan yang bersaing

Beraneka macam cara yang berbeda yang mendorong peranan-peranan dan kebutuhan-kebutuhan itu terlahirkan.

-          Banyaknya bentuk halangan-halangan yang bisa terjadi di antara dorongan dan tujuan.

-          Terdapatnya baik aspek yang positif maupun negatif yang menghalangi tujuan-tujuan yang diinginkan.



Hal-hal di atas dalam proses adaptasi seseorang terhadap lingkungannya yang sering kali menimbulkan konflik.



Ada tiga macam bentuk konflik intrapersonal yaitu :



-          Konflik pendekatan-pendekatan, contohnya orang yang dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama menarik.

-          Konflik pendekatan – penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada dua pilihan yang sama menyulitkan.

-          Konflik penghindaran-penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada satu hal yang mempunyai nilai positif dan negatif sekaligus.



2)       Konflik Interpersonal

Konflik Interpersonal adalah pertentangan antar seseorang dengan orang lain karena pertentengan kepentingan atau keinginan. Hal ini sering terjadi antara duaorang yang berbeda status, jabatan, bidang kerja dan lain-lain. Konflik interpersonal ini merupakan suatu dinamika yang amat penting dalam perilaku organisasi.

Karena konflik semacam ini akan melibatkan beberapa peranan dari beberapa anggota organisasi yang tidak bisa tidak akan mempengaruhi proses pencapaian tujuan organisasi tersebut.



3)       Konflik antar individu-individu dan kelompok-kelompok

Hal ini seringkali berhubungan dengan cara individu menghadapi tekanan-tekanan untuk mencapai konformitas, yang ditekankan kepada mereka oleh kelompok kerja mereka. Sebagai contoh dapat dikatakan bahwa seseorang individu dapat dihukum oleh kelompok kerjanya karena ia tidak dapat mencapai norma-norma produktivitas kelompok dimana ia berada.



4)      Konflik antara kelompok dalam organisasi yang sama

Konflik ini merupakan tipe konflik yang banyak terjadi di dalam organisasi-organisasi. Konflik antar lini dan staf, pekerja dan pekerja – manajemen merupakan dua macam bidang konflik antar kelompok.



5)      Konflik antara organisasi

Contoh seperti di bidang ekonomi dimana Amerika Serikat dan negara-negara lain dianggap sebagai bentuk konflik, dan konflik ini biasanya disebut dengan persaingan.Konflik ini berdasarkan pengalaman ternyata telah menyebabkan timbulnya pengembangan produk-produk baru, teknologi baru dan servis baru, harga lebih rendah dan pemanfaatan sumber daya secara lebih efisien.

Diambil dari:

Judul buku : A Fish Out of Water
Judul bab : Konflik: Senjata Rahasia Pemimpin
Penulis : George Barna
Penerjemah : Sri Wandaningsih
Penerbit : Immanuel, Jakarta 2006
Halaman : 149 -- 153

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites